Jumat, 16 Oktober 2009

Membeli Laki-Laki, Sebuah Analisis Struktural Cerpen

Membeli Laki-Laki Karya Yoli Hemdi
I. Ringkasan Cerita.
Imai seorang wanita lajang berusia 35 tahun. Dia jatuh cinta dengan seorang laki-laki muda dan sarjana, Ramang. Tetapi adat mereka mengharuskan seorang wanita memberikan uang jemputan (adat di Minangkabau, yang mengharuskan keluarga perempuan menyerahkan sejumlah uang atau barang berharga pada keluarga laki-laki). Dan uang yag dipatok oleh Pak Sati, paman Ramang, begitu banyak dan mustahil untuk dipenuhi oleh Amaknya Imai. Amaknya akhirnya pasrah dia tak hendak membeli Ramang, pemuda yang menjadi tambatan hati Imai. Amak Imai ingin agar Imai melupakan Ramang dan mencari laki-laki yang tidak mahal.

Tetapi Imai tak mau karena baginya laki-laki hanyalah satu, yaitu Ramang. Ia tidak putus asa dan akhirnya ia membuat celengan bambu yang digantung di rumahnya dan setiap ia punya uang maka diisinya celengan itu dengannya. Harapannya selalu melayang pada Ramang, ia bayangkan seandainya menjadi istri ramang maka desanya akan gembira.
Tetapi angannya sirna. Harapannya musnah. Saat semangatnya menabung di celengen bambu begitu menggelora dan keyakinannya akan bisa menyerahkan uang jemputan meski sudah berbulan-bulan bahkan bertahun tahun celengannya tidak juga penuh, tiba-tiba ia dengar dan tahu bahwa Ramangnya dinikahkan dengan Rahma gadis tunggal pak Sati, meski pernikahan mereka tidak didasari rasa cinta tetapi hutang budi, karena biaya sekolah Ramang ditanggung oleh Pak Sati.
Hancur hati imai. Hingga akhirnya ia , ngengleng atau gila.

II. Landasan Teori

Seperti halnya kehidupan begitulah karya sastra. Ia menciptakan dunianya sendiri yang berbeda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata, meskipun menjadi keharusan dalam sebuah karya sastra yang baik, terutama karya sastra yang berbentuk prosa, untuk selalu memperhatikan plausabilitas atau kemasukakalan. Tetapi kemasukakalan dalam sebuah cerita tidak harus sesuai dengan kehidupan nyata manusia tetapi ia , masuk akal sesuai dengan cerita itu sendiri. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Karenanya, sebuah analisis intrinsik merupakan usaha mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra.
Sebuah karya sastra baik yang berbentuk prosa maupun puisi selalu terbangun atas dua unsur, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Novel yang merupakan salah satu bentuk prosa juga terbangun atas dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Maksudnya tatkala seseorang membaca sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi unsur-unsur tersebut akan dapat secara langsung ditemukan dalam karya tersebut. Yang termasuk unsur intrinsik karya sastra khususnya yang berbentuk prosa (cerpen ataupun novel) antara lain, judul, alur, penokohan, setting, sudut pandang atau point of view, tema, serta style bahasa.
Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari luar sehingga ia tidak bisa ditemukan secara langsung oleh pembaca saat dia membaca karya tersebut. Yang termasuk unsur intrinsik karya sastra antara lain kehidupan sosial politik, tingkat pendidikan pengarang dan sebagainya.

III. Analisis Unsur-Unsur Intrinsik

A. Judul

Membeli Laki-laki karya Yoli Hemdi merupakan cerpen yang berhasil menjadi pemenang hadiah hiburan lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh majalah Ummi. Pertama kali membaca judul cerpen ini, Membeli Laki-Laki barangkali bayangan yang tergambar pada diri kita adalah hal-hal yang tabu, yakni penjual-belian seorang laki-laki. Tetapi begitu menyimak dan menelusuri latar kejadian cerita di cerpen tersebut barulah kita mengetahui bahwa Membeli Laki-Laki adalah kata lain dari istilah adat Minangkabau, yaitu uang jemputan yaitu sejumlah uang atau barang yang diserahkan kepada keluarga laki-laki. Sehingga judul cerpen ini sekaligus memberi gambaran cerita secara keseluruhan.


B. Alur

Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
2. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
3. Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
Secara keseluruhan cerita dalam cerpen Membeli Laki-laki ini menggunakan alur lurus maju (progresif) atau linier. Kejadian atau peristiwa pertama dalam cerita merupakan peristiwa awal kejadian yang sebenarnya.
1. Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah
1. Bagian awal yang meliputi
• paparan (exposition)
• rangsangan (inciting moment)
• gawatan (rising action)
2. Bagian tengah yang meliputi
• tikaian (conflict)
• rumitan (complication)
• klimaks
3. Bagian akhir yang meliputi
• leraian (falling action)
• selesaian (denouement)
Tetapi pemisahan atau pembagian bagian alur menjadi awal, tengah dan akhir tidak bisa kita pisahkan secara betul-betul terpisah. Artinya sebenarnya bagian akhir sebuah cerita itu merupakan bagian awal dari suatu cerita. Begitu pula, akhir dari bagian tengah cerita merupakan awal bagian akhir cerita.
Kalau ditilik dari sistematika atau sruktur cerpen Membeli Laki-laki akan kita dapatkan adanya bagian awal, tengah dan bagian akhir. Meskipun demikian bagian-bagian itu tidak jelas terpisah. Ini disebabkan karena peristiwa-peristiwa dalam sebauh cerita selalu terjalin atas hubungan sebab akibat (kausalitas) yang di dunia nyata ia menjadi sunatullah, suatu peristiwa pasti selalu berakibat pada peristiwa lain dan akibat ini akan menjadi sebab yang lain dan begitu seterusnya.
Karenanya tidak akan kita peroleh bagian yang benar-benar terpisah dengan bagian lain. Akhir dari bagian pendahuluan menjadi awal dari bagian tengah dan begitu pula akhir bagian tengah merupakan awal bagian penutup.
a. Awal
Bagian awal Membeli Laki-laki digunakan oleh penulis untuk mengenalkan (paparan atau exposition) kepada pembaca pada tokoh-tokohnya, latar kehidupan serta tempat dimana para tokoh tersebut tinggal, bahkan gambaran tentang permasalahan (rangsangan atau inciting moment) yang dihadapi sang tokoh sudah bisa kita temukan dalam awal cerita ini.
Perkenalan pada tokoh diberikan oleh pengarang pada petikan berikut:
“Bagi perempuan seperti kita, menikah hanyalah mimpi yang mahal”
Imai menancapkan tatapan heran ke arah Incim. Wanita lajang usia tiga puluh lima tahun itu tetap menekur.
……………………………………………………………………………………
“Tapi aku dicintai Ramang”

Pada penggalan kutipan tersebut selain kita sudah dikenalkan oleh penulis dengan nama-nama tokoh cerita, kita juga sudah diransang akan adanya permasalahan yang dihadapi tokoh-tokohnya (inciting moment). Hal ini bisa kita cermati dari ucapan sang tokoh (Incim) sebagaimana tersebut di atas. Bahkan pada bagian awal ini pula kita sudah merasakan adanya sesuatu yang gawat yang bakal menimpa tokoh utamanya (gawatan atau rising action). Hal itu juga bisa kita simak dari pembicaraan Incim dengan tokoh Imai selanjutnya:
“Cintamu hanya untuk hatinya tetapi jasad Ramang harus kaubeli pada keluarganya. Jika yang kauingin cinta maka kau telah mendapatkan jiwanya. Kalau mau menikahinya, kau harus menukar batang tubuhnya dengan segunung uang”
b. Tengah
Sebagai yang sudah disebutkan di atas bahwa pemisahan plot atas awal dan tengah dan akhir tidak bisa benar – benar pisah tetapi bagian tengah cerita pada dasarnya akhir bagian awal dan seterusnya.
Pada bagian tengah cerita kita dapatkan bahwa sang tokoh benar-benar mendapatkan masalah. Bahkan masalah tersebut telah menjadi konflik antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
“Kemenakanku orang terpandang, dia cadiak pandai, kalian harus membayar uang jemputan”.
Sambil melintir kumis Pak Sati menyebut deretan angka yang membuat Amak berhenti bernafas. Uang sebanyak itu tak akan pernah terkumpulkan sampai kami mati bekerja di sawah. Jangankan mengumpulkan, menyebutkan saja betapa ngilu terasa dilidah………………………………………………………
“Sudahlah! Kalau tak sanggup carilah menantu di jalanan”. Dia melangkah pergi setelah melempar puntung rokok lewat jendela.
Konflik tersebut menjadi begitu rumit (komplikasi) karena ternyata Imai begitu mencintai Ramang dan ia tak mau dengan laki-laki lain.
“Tenanglah kita akan coba lagi berutang. Nanti uangnya kita pakai untuk membayar uang jemputan laki-laki, tak usah yang mahal-mahal, ya!”. Amak membantu meniup-niup mata Imai.
” Tapi aku ingin Ramang”. Gadis itu merungut-rungut.
Dan akhirnya komplikasi itu menjadi klimaks disaat Imai berusaha mengumpulkan uang dengan semangat dan bersungguh-sungguh dengan cara membuat celengan bambu tiba-tiba saja Pak Sati menyodorkan anak gadisnya untuk Ramang. Maka baralek gadang (kenduri besar) kontan membuat semangat hidup Imai patah.
…………………………………………………………………………………
Segala biaya kuliah Ramang ditanggung sang mamak.Cukup sebagai senjata Pak Sati menyodorkan anak gadisnya.Pesta besar segera digelar meriah membuat orang sekampung kurang tidur seminggu.
Baralek gadang kontan membuat semangat hidup Imai patah.
c. Akhir

Pada bagian akhir kita dapatkan kenyataan bahwa akhirnya tokoh utama, yakni Imai ngengleng atau gila. Penulis nampaknya ingin mengakhiri cerita dan permasalahan dengan cara yang mudah, yaitu dengan menjadikan sang tokoh utama gila. Maka selesailah semuanya. Tidak perlu memperpanjang masalah terhadap orang yang sudah gila.
Ada ending yang terbuka bagi pembaca untuk menafsirkan kesudahan dari tokoh ceritanya. Apakah Imai yang sudah gila akhirnya bisa sembuh atau ia akan menjadi wanita yang menjadi korban dari keangkuhan manusia yang menjadikan harta di atas segala-galanya.
d. Plausabilitas, Suspense, Kebetulan
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah
a. faktor kemasukakalan (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b. Faktor ketegangan (suspense). Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c. Faktor Kejutan (surprise). Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi dan mengejutkan.

Dari ketiga faktor tersebut faktor keteganganlah yang paling dominan kita dapatkan. Sejak awal cerita kita dibuat tegang dengan masalah yang dihadapi Imai. Ketegangan itu sempat mengendor ketika kita mengetahui bahwa Imai tidak bertepuk sebelah tangan. Ramang ternyata memang juga mencintainya.
Ramang menyukaiku. Pesan inda ini disampaikan Buyung teman salapiak sakatidurannya di surau………………………………………………
Syukurlah Buyung setia menjadi perantara dua hati. Hingga akhirnya kami berani saling bertukar kata meski beberapa patah saja…………………………
Ketika kita mendapatkan kenyataan itu kita berharap bahwa kekuatan cinta mereka akan mampu mengalahkan dan menghancurkan segala rintangan dalam cita-cita mereka berdua, yaitu menikah. Tetapi tiba tiba kita dikejutkan dengan kenyataan cerita bahwa Pak Sati mempunyai anak gadis dan biaya kuliah Ramang selama ini emaknya-lah yang menanggungnya sehingga Ramang akhirnya tidak bisa menolak saat ia dinikahkan dengan anak gadis Pak Sati meski tanpa dasar cinta.
Mamak Ramang tak mau menanti tabungan yang mustahil membumbung. Ramang dinikahkan dengan dengan Rahma, putri tunggal Pak Sati. Pernikahan yang jelas-jelas bukan atas nama cinta kecuali hutang budi.

Kalau diperinci alur serpen tersebut kurang lebih begini:
• Paparan/ Eksposisi : Digunakan penulis untuk memperkenalkan tokoh utamanya yakni Imai
sekaligus permasalahan yang dihadapi
• Konflik : Berupa konflik batin dan sosial yakni keinginan hati Imai yang begitu
besar ingin menikah dengan Ramang tetapi ia harus berhadapan dengan adat di daerahnya yang mengharuskan seorang wanita menyerahkan uang jemputan bagi keluarga laki-laki yang dicintainya.
• Klimaks : Terjadi saat Imai tahu bahwa Ramang telah dinikahkan dengan Rahma
• Anti Klimaks : Imai berperilaku yang tidak wajar yaitu menebang banyak pohon bambu
menganggap setiap daun bambu sebagai uang yang kemudian ia tabung di celengan bambu yang telah banyak dibuatnya.
• Ending : Imai gila dan dipasung

C. Penokohan

Kalau alur berbicara tentang peristiwa apa yang terjadi, tokoh dan penokohan berbicara tentang siapa yang mengalami peristiwa dan bagaimana cara pengarang dalam menampilkan tokoh-tokohnya baik dari segi lahir maupun batinnya.
Dalam menggambarkan watak tokoh-tokohnya penulis menggunakan cara langsung dan tak langsung.

1. Incim
Dia adalah seorang wanita lajang yang sudah berusia tiga puluh liam. Seorang wanita yang mudah menyerah dengan keadaan. Hal ini tergambar dalam percakapannya dengan Imai.
“Bagi perempuan seperti kita, menikah hanyalah mimpi yang mahal”
Imai menancapkan tatapan heran ke arah Incim. Wanita lajang usia tiga puluh lima tahun itu tetap menekur.
2. Imai
Kebalikan dengan Incim Imai adalah sosok wanita yang pantang menyerah. Meskipun di mata Incim mustahil ia bisa menikah dengan Ramang tetapi ia tidak menyerah begitu saja, ia berusaha dan berusaha.
Semestinya bukan aku yang memikirkan uang jemputan. Tapi mamakku sulit diharapkan. Ia hanya penjaja ikan keliling kampung……………………………
……………………………………………………………………………………
Amak menyetujuinya. Gadis itu menggantung celengan di kamar. Tiap punya uang diselipkan recehan, ribuan atau seberapa pun. Sejak itu ia lebih bersemangat bekerja di sawah, membersihkan ladang, atau menokok kerupuk Banguak………...
Meskipun ia seorang yang pantang menyerah tetapi ia juga seorang wanita yang nrimo dan tidak banyak menuntut, kesan watak itu bisa kita simak dari percakapan batinnya:
‘Semakin sedikit keinginan akan semakin besar kebahagiaan. Itu pesan Amak yang kusimpan rapat-rapat di peti hati. Sebab itu pula aku tak pernah meminta, merengek apatah lagi mengeluh.’
3. Amak
Amak adalah gambaran orang tua yang pasrah dengan keadaan tetapi penuh kasih sayang terhadap anaknya. Watak itu bisa kita lihat dari percakapannya dengan Imai, anaknya:
“Tenanglah kita akan coba lagi berutang.Nanti uangnya kita pakai untuk membayar uang jemputan laki-laki, tak usah yang mahal-mahal, ya!”. Amak membantu meniup-niup mata Imai.
4. Ramang

Tokoh ini mempunyai watak yang saleh, rajin mengisi pengajian dan juga seorang sarjana, hal ini diungkapkan oleh pengarang melalui tokoh Imai.
……………………………………………………………………………………
Ramang itu seorang pemuda yang baik juga saleh. Dia rajin ke surau mengumandangkan adzan, jadi imam kemudian mengajari anak-anak mengaji atau memberi pengajian rutin untuk bapak-bapak dan ibu-ibu.
Ramang menyukaiku………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………Ramang pintar, dia sarjana. ………………………………………………...……

5. Pak Sati

Seorang yang menganggap uang segala-galanya. Dia juga seorang yang angkuh dan sombong. Kesan watak itu bisa dicermati dari sikap pembicaraannya dengan Amak Imai.

“Kemenakanku orang terpandang, dia cantik pandai, kalian harus membayar uang jemputan”.
Sambil melintir kumis , pak Sati menyebut deretan angka yang membuat Amak berhenti bernapas…..
“Coba kalian bayangkan berapa uang kami pakai hingga sekarang Ramang menjadi pemuda terpandang. Tak mungkinlah kalian ambil begitu saja. Tukang panjat kelapa saja harus pakai uang jemputan. Padahal dia tak sekolah dan hanya berkawan dengan monyet”…

Bahkan ia membeli Ramang yang kemudian dinikahkan dengan putri tunggalnya Rahma, meski tidak dengan dasar cinta.
…. Mamak Ramang tak mau menanti tabungan yang mustahil membumbung. Ramang dinikahkan dengan Rahma, putri tunggal Pak Sati.Pernikahan yang jelas-jelas bukn atas nama cinta kecuali hutang budi. Segala biaya kuliah Ramang ditanggung sang mamak. Cukup sebagai senjata pak Sati untuk menyodorkan anak gadisnya ….

Dari uraian tentang penokohan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam menggambarkan watak tokoh-tokohnya penulis lebih banyak menggunakan dengan metode tidak langsung atau dramatik. Adapun cara yang digunakan adalah dengan :
a. Percakapan batin tokoh-tokohnya (solilukui)
b. Tanggapan tokoh terhadap tokoh lain
c. Percakapan antar tokoh-tokohnya.

D. Setting atau Latar

Latar dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
Peristiwa dala cerpen ini berseting tempat di sebuah desa di daerah Minangkabau. Ini bisa kita lihat dari petikan berikut:
Pertarungan lumpur dari pagi hingga sore baru saja usai. Dua wanita baru saja menapaki pematang senja, mengukur hidup pendek dengan mengais upah di sawah.
Sedangkan untuk daerah Minangkabau bisa kita simak dari istilah-istilah yang muncul pada cerpen ini, seperti uang jemputan, suntiang, jolang gadang , baralek gadang dan sebagainya.
Baralek gadang kontan membuat semangat hidup Imai patah……………… ……………………………………………………………………………………
Dalam menggambarkan latarnya apalagi latar fisiknya, pengarang berusaha mengaitkannya dengan suasana cerita dan keadaan tokoh-tokohnya. Sehingga latar fisik yang digunakan selalu menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu dan menimbulkan daya bayang tentang suasana cerita.

E. Sudut Pandang Penceritaan

Dalam menceritakan ceritanya terkadang penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga tetapi kadang-kadang meloncat ke orang pertama. Perubahan sudut pandang penceritaan ini bisa kita simak dari penggalan-penggalan berikut:

“Bagi perempuan-perempuan seperti kita, menikah hanyalah mimpi yang mahal”.
Imai menancapkan tatapan heran ke arah Incim Ida…..(sudut pandang orang ketiga yang berada di awal cerita)

Semakin sedikit keinginan akan semakin besar kebahagiaan. Itu pesan Aman yang kusimpan rapat-rapat di peti hati. Sebab itu pula aku tak pernah meminta, merengek apatah lagi mengeluh….(sudut pandang orang pertama)
Hingga suatu ketika aku punya satu keinginan saja. Rasa ingin yang meletup-letup dari lubuk terdalam di bilik hati. Keinginan yang membuatku bingung mengerjakan hal paling sepele sekalipun.Ya. Aku ingin punya suami. (sudut pandang orang pertama)
Ingatan Imai menembus ruang dan waktu. Sejumpun harapan meronta-ronta tentang sebidang hati yang tak terbentuk. Ramang itu seorang pemuda yang baik dan saleh. Dia rajin ke surau mengumandangkan adzan, jadi imam kemudian mengajari anak – anak mengaji atau memberi pengajian rutin untuk bapak-bapak dan ibu-ibu… (sudut pandang orang ketiga)
Nampak sekali adanya pergantian sudut pandang penceritaan bahkan telah terjadi loncatan sudut pandang, yakni dari sudut pandang orang pertama menjadi sudut pandang orang ketiga.
Sudut pandang orang pertama biasanya digunakan oleh penulis untuk memberi kebebasan tokoh untuk bersolilukui, mengadakan percakapan batin sehingga dari sana seolah penulis ingin memberikan gambaran watak dari tokoh Imai, yang menjadi tokoh sentral dan utama cerpen tersebut.

F. Style Bahasa

Karya sastra adalah sebuah karya seni yang unsur estetiknya menonjol. Keestetikan karya sastra tidak saja bisa dilihat dari pola dia ditutrkan oleh pengarangnya tetapi juga tampilan bahasa yang digunakan. Di sinilah kemampuan memilih dan menggunakan bahasa sang pengarang diuji.
Dalam cerpen Membeli Laki-Laki ini kita akan dapatkan penggunaan gaya bahasa yang cukup bervariasi. Gaya bahasa yangdapat kita temukan antara lain:
1. Personifikasi yaitu suatu gaya bahasa yang menganggap benda-benda mati berulah seperti manusia.
Pertarungan lumpur dari pagi hingga sore baru saja usai.
………..desis Imai mengusir bayang-bayang hitam yang menyergap batinnya.
2. Metafora yaitu gaya bahasa yang mengatakan atau melukiskan sesuatu dengan
membandingkan sesuatu yang lain. Hal itu bisa kita simak dari kutipan berikut:
……………………………………………………………………………………
Sama seperti gelombang rasa yang meledak di jantungku.



F. Tema dan Amanat

Cerita yang berlatar di Minangkabau ini memberikan pelajaran pada kita bahwa tatkala manusia menjadikan uang segala-galanya akan berakibat hilangnya rasa kemanusiaan manusia. Ini terwakili oleh sikap Pak Sati tatkala ia menolak bermenantu Imai yang miskin sekalipun sudah terjalin hubungan cinta di antara keduanya.

“Sudahlah! Kalau tak sanggup, carilah menantu di jalanan”. Dia melangkah pergi setelah melempar puntung rokok lewat jendela.
Juga dari kata-katanya;

“Coba kalian bayangkan berapa uang kami pakai hingga sekarang Ramang menjadi pemuda terpandang. Tak mungkinlah kalian ambil begitu saja. Tukang panjat kelapa saja harus pakai uang jemputan. Padahal dia tak sekolah dan hanya berkawan dengan monyet”…



0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP