Sabtu, 17 Oktober 2009

Kukila, sebuah Analisis Struktural cerpen

Cerita dari http://www.blogcatalog.com

Seorang lelaki tua berlari-lari sepanjang jalan Pemuda di tengah hari bolong di bawah terik matahari yang membakar kota Jakarta. Peluh mengalir membanjiri sekujur tubuhnya. Sebuah tas kecil menggantung di pundaknya yang kurus. Tangan kirinya memegang sangkar berselubung kain hitam tipis. Tangan kanannya melambai-lambai ke udara, dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "Kyai, Kyai, turun Kyai!".






"Aku bangga padamu, Le", kata Ki Bayan tersenyum pada anaknya, Joko Umbaran, saat keduanya duduk-duduk di teras rumah menikmati malam purnama sebulan yang lalu. Joko Umbaran diam, matanya menatap kedua anaknya yang ceria bermain Gobak sodor bersama sepupu-sepupu mereka di halaman. Liburan sekolah hampir berakhir, kemarin pagi Joko Umbaran datang dari Jakarta untuk menjemput kedua anaknya yang sedang liburan di rumah eyangnya yang berada di lereng selatan Gunung Lawu yang terpencil itu.

"Kamu sudah mriyayeni, melebihi derajat Bapakmu yang cuma wong nggunung ini.",lanjut Ki Bayan sambil menyalakan rokok klobot kemenyan kesayangannya. Bau tembakau campur kemenyan dengan segera memenuhi udara, tapi Joko Umbaran sudah terbiasa dengan bau itu sejak kecil.

"Kekuranganmu tinggal satu, kukila.", kata Ki Bayan sambil menatap serius wajah anak sulungnya yang kini sukses menjadi seorang pengusaha di Ibukota.

"Kamu sudah memiliki wisma, wanita, turangga, dan curiga. Tapi belum memiliki kukila"

"Besok sore, bawalah Kyai Godheg Sonto, perkutut kesayangan Bapak besertamu ke Jakarta"

"Tapi Pak, seperti yang Bapak ketahui, saya tidak memiliki bakat memelihara binatang, apalagi burung. Apakah tidak menyengsarakan Kyaine bila tak terurus nantinya?", Tolak Joko Umbaran dengan halus. Di rumahnya yang besar di Jakarta, Joko Umbaran memang punya banyak pembantu, tapi ia paham betul melihara burung perkutut itu tidak mudah, tidak bisa diserahkan ke sembarang orang.

"Le, hidupmu belum sempurna bila belum memiliki kukila." tegas Ki Bayan. "Besok bawalah Kyai Godheg Sonto bersamamu". Kalimat itu adalah perintah yang tak lagi membutuhkan bantahan. Joko Umbaran tahu betul sangat sulit menolak keinginan Bapaknya yang punya kemauan keras.

"Sudah malam Le, Istirahatlah. Suruh tidur kedua cucuku itu. Besok kamu masih harus membawa mobil ke Jakarta. Lain kali mbok ya bawa sopir, mosok priyayi kok bawa mobil sendiri"

Keesokan harinya Joko Umbaran bersiasat. Ia penuhi mobil Serenanya dengan barang oleh-oleh sebanyak mungkin: pisang, mangga, kripik belut, emping mlinjo, karak rambak, kulit tahu goreng, intip goreng, rasikan, brem, wajik, jadah, wingko babat, tape ketan, batik, wayang, souvenir, pokoknya apa saja berdus-dus banyaknya memenuhi bagasi belakang, sehingga tidak memungkinkan sesentipun celah untuk Kyai Godheg Sonto beserta sangkarnya masuk ke dalam Serena kesayangannya. Ruangan yang tersisa hanyalah cukup untuk keluarganya berlima dengan pembantunya.

Akhirnya Ki Bayan menyerah. Ia naikkan lagi sangkar Kyaine di tiang bambu depan rumahnya.

"Adikmu si Taruna akan mengantarkan Kyaine ke rumahmu besok hari Rabu Legi." Kata Ki Bayan masih semangat.

"Hidupmu belum sempurna bila belum memiliki kukila." seru Ki Bayan sambil melambaikan tangannya ke arah mobil yang melaju pelan menuju Jakarta sore hari itu. Ki Bayan masih berharap anaknya benar-benar menjadi priyayi yang sempurna.

Maka tibalah hari Rabu Legi itu, hari yang dianggap baik untuk mengantar Kyai Godheg Sonto ke Jakarta. Tapi sehari sebelum hari baik itu, Taruna justru sakit. Badannya lemas, muntah dan mencret sepanjang malam. Ki Bayan ragu untuk menunda pengantaran. Ia sudah terlanjur menentukan hari Rabu Legi dan Ki Bayan tak ingin Joko Umbaran menganggap bicaranya tak bisa dipercaya. Bagaimana mungkin keluarga priyayi bicara mencla-mencle.

Hari itu, Ki Bayan mencari orang yang mau menggantikan Taruna mengantar Kyaine ke Jakarta. Kalau tidak mau sebagai kurir, paling tidak ada orang yang mau menemaninya bila terpaksa ia sendiri yang harus mengantar Kyaine. Namun hingga tengah hari tak ada seorangpun yang bersedia.

"Kami takut tersesat Ki Bayan, kami kan belum pernah ke Jakarta.", elak orang-orang dengan muka serius. Namun alasan yang sebenarnya adalah kebencian mereka atas kesombongan Ki Bayan yang senang memamerkan kesuksesan Joko Umbaran secara berlebihan dan merendahkan orang-orang di desanya sendiri.

Sore hari itu Ki Bayan berangkat sendirian. Sebuah tas kecil berisi pakaian ganti dan makanan perkutut menggantung di pundak tuanya. Di tangan kanannya, terpegang erat sangkar Kyaine berselubung kain hitam yang tipis, untuk melindungi Kyaine dari segala gangguan luar.

"Jangan lupa telpon lagi masmu, besok suruh jemput Bapak di Pulogadung", pesan Ki Bayan pada Taruna yang masih klenger.

Sejak semalam Ki Bayan mencoba menelepon ke Jakarta tapi selalu tulalit. Tidak handphone, tidak juga telepon rumah. Tapi rasa bangga pada anak sulungnya membuat Ki Bayan tetap berangkat.

"Ah, nanti saja di Pulogadung ditelpon lagi. Toh aku sudah tahu alamatnya dan pernah ke sana.", batin Ki Bayan penuh rasa percaya diri.

Ki Bayan dan keluarganya tak pernah tahu, Joko Umbaran sengaja memblok semua telepon masuk dari luar kota pada H-7 dan H+7 menjelang dan sesudah hari Rabu Legi untuk mencegah Bapaknya mengantar Kyai Godheg Sonto.

Satu-satunya alat transportasi dari desanya yang langsung menuju Jakarta adalah sebuah bus ekonomi AC yang mangkal di Pasar Kancil tiga kilometer dari rumahnya. Bus itu berangkat ke Jakarta setiap hari Minggu, Rabu, dan Jumat jam 4 sore.

Masalah pertama muncul ketika Kondektur meminta Ki Bayan menaruh burungnya di bagasi. Tentu saja Ki Bayan mencak-mencak.

"Kamu mau menyengsarakan Kyaine?", seru Ki Bayan kepada Kondektur dengan nada tinggi.

Sang Kondektur tak melayani adu mulut, karena sebenarnya itu hanya taktiknya untuk menambah keuntungan. Kyaine boleh dibawa masuk ke bus dengan catatan harus beli satu tiket lagi dan Ki Bayan harus duduk di deretan kursi paling belakang. Tak ada pilihan lain bagi Ki Bayan.

Setelah menunggu lama, akhirnya Bus berangkat juga menjelang maghrib. Tapi bus tidak langsung menuju Jakarta. Bus itu mampir-mampir dulu ke segala tempat dan sering berhenti di mana saja mengambil penumpang satu dua. "Bisa nggak setoran pak, kalo penumpang nggak penuh", dalih sopir bus saat diprotes Ki Bayan. "Hari gini, jarang orang ke Jakarta pak", tambah sopir membela diri.

Duduk di deretan bangku paling belakang ternyata tidak nyaman. Pertama, suara mesin bus yang bising membuat Ki Bayan tak bisa istirahat. Kedua, suhu mesin yang panas membuat duduk Ki Bayan tak nyaman. AC bus itu ternyata hanya meniupkan angin biasa belaka. Ketiga, saat melewati lubang atau jalan rusak, Ki Bayan dan Kyaine terpental-pental tak karuan sehingga tumpahlah air minum dan makanan Kyaine, membasahi dan mengotori kursi. Tapi Ki Bayan tak mungkin menyuruh sopir memelankan bus.

Di tengah perjalanan, bus berhenti di restoran dan semua orang turun untuk makan. Ki Bayan kebingungan. Perutnya lapar dan ia ingin buang air kecil, tetapi apa pantas makan sambil membawa sangkar burung. Bila Kyaine ditinggal, jangan-jangan dicuri orang.

Karena tak tahan menahan buang air, akhirnya Ki Bayan turun juga dari bus sambil menenteng sangkar. Urusan buang air tidak masalah, karena Kyaine bisa dititip ke penunggu toilet. Tapi giliran mengantri nasi, terpaksa Ki Bayan menunggu di antrian terakhir dan duduk makan menyendiri. Sangkar Kyaine diletakkan di kursi sebelahnya seperti istrinya sendiri.

"Bawa burung aja lagaknya kayak bawa emas sekarung. Dasar wong nDeso!", rerasan orang-orang geli melihat Ki Bayan yang paranoid.

Kejadian itu terulang kedua kalinya saat bus berhenti untuk sarapan pagi.

Akhirnya bus memasuki terminal Pulogadung tengah hari. Tapi tak ada satu orangpun yang menjemput, tidak anaknya tidak juga orang suruhan anaknya.

"Mungkin Taruna masih sakit dan belum telpon", batin Ki Bayan menenangkan diri. Tapi ketika Ki Bayan menelepon, yang menerima adalah pembantu baru yang tidak dikenalnya dan tidak tahu menahu. Ki Bayan menjadi murka dan tak sabar, HP anaknya masih juga tidak bisa dihubungi.

"Sudahlah, langsung saja ke rumahnya. Paling tidak aku bisa segera ngopeni Kyaine disana.", sungut Ki Bayan jengkel.

Setelah mbayoni burung perkututnya, Ki Bayan naik mikrolet jurusan Senen. Dengan segera masalah muncul ketika penumpang mulai penuh. Terpaksa Ki Bayan memangku sangkar Kyaine dengan susah payah. Bau kotoran Kyaine memenuhi mikrolet di siang hari terik itu. Para penumpang mulai menutup hidung dan memandang tajam bergantian ke wajah Ki Bayan dan sangkar burungnya, tapi tak sorangpun yang berkata-kata. Semua kaca jendela dibuka, tapi tak banyak membantu, bahkan sisa-sisa kotoran yang melekat di sangkar mulai beterbangan diterpa angin.

Mikrolet berjalan kencang, sesekali menerobos jalur busway berlomba dengan mikrolet lain berebut rezeki di jalanan yang panas.

"Cciiiitttt!", tiba-tiba mikrolet direm mendadak. Sebuah sepeda motor memotong jalan. Penumpang yang berhimpitan terpental. Sangkar terlepas dari pegangan Ki Bayan, menyerempet, membentur kepala para penumpang, melayang menuju pintu, dan terlempar ke luar mikrolet. Pintu sangkar terbuka dan Kyai Godheg Sonto terbang keluar sangkar.

"Bangsat!!!", sopir meneriaki motor yang kabur.

"Setan!!!", maki para penumpang. Wajah dan baju mereka basah oleh tumpahan air minum dari sangkar.

"Manukku!!", Ki Bayan melompat keluar. Tangan kirinya sigap menyambar sangkar, kaki tuanya bergerak cepat, berlari memburu Kyaine yang terbang menjauh. Lelaki tua itu terus berlari dan berlari sepanjang jalan. Tangan kanannya menggapai-gapai ke udara dan dan mulut keriputnya berteriak-teriak parau memanggil seekor burung perkutut yang terbang rendah melewati semrawutnya kabel-kabel telepon, pohon-pohon, dan atap-atap bangunan. "Kyai, Kyai, turun Kyai!".



0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP