Selasa, 10 Agustus 2010

Mencari Makna dalam untaian Kata (Sebuah Analisis Puisi)

Apa yang akan Anda rasakan manakala ada seorang atau sekelompok orang yang Anda harapkan uluran tangan dan bantuannya tetapi ternyata dia justru berkeinginan menghancurkan angan-angan dan impian Anda? Kecewa dan putus asa, mungkin demikian yang akan kita rasakan atau bahkan lebih dari itu ?
Inilah yang akan diungkapkan oleh penyair. Kekecewaan dan kesedihan yang amat sangat yang dialami oleh masyarakat grass road karena seseorang atau sekelompok orang yang diharapkan mau dan bisa membantunya dalam mencapai angan dan cita-citanya yang sangat tinggi tetapi justru merekalah yang menghancurkan dan mengandaskan harapannya.

Kita simak puisinya:


Jasad-jasad
(dari Pacitan ’84)
Karya Sucinari

Ujung mimpiku menyambar kepala halilintar
Jasad-jasad tidur terkapar
Di bawah jembatanku kepalaku terbangun
Merintih.
Minta secuil dari mimpiku yang berakar

Aku jadi termangu karena jutaan yang dipandangnya padam
Tenggelam dalam gemuruh lautnya yang kecil
Sedang bulan yang mau dipeluk
Jadi merah darah
Menyeringai benci
Mau menelan tubuh keringnya bulat-bulat

Oh
Coba renungkan sesaat tuan
Adakah yang lebih hina dari kekalahan hidup

Kini tinggal sajak-sajak sampah
Yang mau menemani dan menyelimuti setiap tidurnya

Analisis unsur intrinsik

Pilihan kata dalam sebuah puisi (diksi) sangat menentukan keberhasilan penyampaian pesan dan amanat sebuah puisi. Karenanya dalam menentukan kata yang digunakannya sang penyair sangat jeli dalam memilihnya. Misalnya kata jasad. Sinonim dari jasad antara lain tubuh atau badan. Tetapi sang penyair lebih memilih kata jasad daripada kata tubuh atau badan. Mengapa?
Untuk melihat perbedaan kedalaman makna dan kesesuainan pemilihan kata jasad daripada badan atau tubuh kita lihat tiga kalimat berikut.
a. Polisi itu menemukan jasadnya di selokan.
b. Gerak tubuh penari ronggeng itu sangat memukau penonton.Bandingkan jika kata tubuh diganti dengan jasad sehingga kalimatnya menjadi ‘Gerak jasad penari ronggeng itu sangat memukau penonton’.
c. Ia membersihkan badannya dengan sabun. Bandingkan jika kata badan diganti dengan jasad sehingga kalimatnya menjadi ‘Ia membersihkan jasad dengan sabun’
Tentu kita merasa bahwa penggunaan kata jasad dalam kalimat yang tercetak miring sangat atau kurang pas. Sekalipun kata itu bersinonim tetapi tidak bisa saling menggantikan karena ada tersirat makna konotasi dalam kata jasad, seperti halnya pada kata mati, mampus, dan gugur meskipun bersinonim tetapi kata-kata tersebut tidak bisa saling menggantikan. Kita tidak akan pernah mengatakan ‘Bapak presiden mampus kemarin pagi’Atau ‘Kucing saya gugur tertabrak mobil’
Kata jasad lebih menunjuk kepada makna sesosok tubuh atau badan yang telah mati dan tiada harga.
Demikianlah penyair ingin menekankan betapa para gelandangan itu sering tidak dianggap manusia sehingga mereka sering tidak dipedulikan padahal mereka juga manusia yang justru sangat membutuhkan kepedulian.

Kesan gelandangan itu bisa kita dapatkan dari baris

Jasad-jasad tidur terkapar
Di bawah jembatanku kepalaku terbangun

Tetapi meskipun dia gelandangan dia punya cita-cita dan harapan sangat tinggi,

Ujung mimpiku menyambar kepala halilintar
Jasad-jasad tidur terkapar

Untuk mencapai irama yang serasi penulis menggunakan kata halilintar yang bersinonim dengan kata guruh atau petir, karena kata halilintar lebih dekat iramanya dengan kata menyambar dan terkapar. Sehingga bisa kita katakan kata halilintar dipilih lebih disebabkan karena tujuan mewujudkan rima atau irama.
Kita semua tahu bahwa halilintar tempatnya di atas, demikian juga kepala. Dan yang disambar mimpi (ungkapan dari cita-citanya) penyair adalah kepala halilintar, bukan tubuh atau kakinya. Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa penyair mempunyai cita dan angan-angan yang sangat tinggi, cita-citanya sampai menyambar halilintar (sesuatu yang berada di atas) dan yang disambar bagian paling atas dari yang ada di atas tersebut yaitu kepalanya bukan tubuh atau kakinya.

Akan tetapi dia menyadari (di awah jembatan kepalaku terbangun)bahwa dirinya hanyalah seorang gelandangan, mustahil akan mampu mewujudkan impiannya yang sangat tinggi tersebut. Meskipun demikian ia tetap optimis kalau tidak bisa mewujudkan semua mimpinya pasti ada orang ( dalam puisi tersebut orang atau sekelompok orang dilambangkan dengan kata bulan dan bintang ) bisa membantu mewujudkan mimpinya walau hanya sedikit dari cita-citanya yang akan dibantu oleh orang lain atau sekelompok orang.

Merintih
Minta secuil dari mimpiku yang berakar’

Tetapi alangkah kecewanya ia (mlengak) begitu mengetahui orang yang diharapkan bantuannya justru akan menghancurkan semua cita-citanya. Ingin membinasakannya dengan kekuasaannya.

Aku jadi termangu karena jutaan bitang yang dipandangnya padam
Tenggelam dalam gemuruh lautnya yang kecil
Sedang bulan yang mau dipeluk
Jadi merah darah
Menyeringai benci
Mau menelan tubuh keringnya bulat-bulat

Bulan dan bintang di malam hari adalah penerang. Bahkan ia sering dijadikan penunjuk arah oleh sebagian manusia misalnya nelayan. Pun bintang dan bulan sering dirindukan kehadirannya oleh semua orang. Kegelapan malam menjadi tersibak dengan munculnya cahaya bulan menyejukkan dan tiada rasa panas. Atau gulitanya malam juga akan tersingkap dengan munculnya berjuta-juta bintang di angkasa laksana jutaan permata yang selalu memancarkan kedipan sinarnya saling bergantian.
Tetapi coba banyangkan jika warna cahaya bulan dan bintang yang menyejukkan tersebut tiba-tiba berubah menjadi merah darah bahkan disertai dengan seringaian dan kemarahan. Tentu malapetaka dan ancaman bahaya yang akan kita rasakan.
Dalam puisi di atas penyair berusaha mengoptimalkan seluruh indera kita agar kita sebagai pembaca merasa benar-benar mengalami dan melihat sendiri kejadian yang menimpa para grass road. Citraan visual atau indera penglihatan kita disentuh agar melihat langssung warna bulan yang tiba-tiba merah darah dan menyeringai benci. Demikian juga indera pendengaran kita tersentak ketika membaca

Aku jadi termangu karena jutaan yang dipandangnya padam
Tenggelam dalam gemuruh lautnya yang kecil (citraan audio/ pendengaran)


Sedang bulan yang mau dipeluk
Jadi merah darah
Menyeringai benci
Mau menelan tubuh keringnya bulat-bulat (Citraan visual/ penglihatan)

Akhirnya diapun pasrah dan merasa kalah dalam kehidupan ini.

Coba renungkan sesaat tuan
Adakah yang lebih hina dari kekalahan hidup

Tiada teman dalam kehidupannya selain cacian dan cemoohan (sajak-sajak sampah/ kata-kata kotor)

Kini tinggal sajak-sajak sampah
Yang mau menemani dan meyelimuti setiap tidurnya

Keterkaitan puisi dengan kehidupan sosial kemasyarakatan

Di era tahun ‘80- an sering terjadi penggusuran terhadap pemukiman-pemukiman yang kumuh tanpa mempedulikan kesulitan hidup mereka, para gelandagan. Bahkan hal itupun masih sering kita dengar akhir-akhir ini. Alasan yang sering dijadikan sandaran penggusuran tersebut adalah bahwa mereka mengganggu dan membuat kota tampak lebih kumuh dan kotor. Bahkan ada yang dengan dalil tempat dimana mereka mendirikan gubuk seadanya akan didirikan suatu industri demi peningkatan taraf kehidupan. Tetapi peningkatan kehidupan siapa? Nampaknya ini yang menggelitik hati penyair yang peka terhadap kehidupan sosial masyarakat grass road sehingga kemudian ia menempatkan diri dibarisan para tuna wisma tersebut dan berusaha membelanya meski hanya dengan kata-kata.

2 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP