Jumat, 10 Juli 2009

PERBANDINGAN TEMA PUISI

Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas", "ciptaan" dan sifat "imajinatif". Karenanya, karya sastra sering disebut sebagai sebuah karya imajinatif yang mempunyai unsur estetik yang menonjol.



Disamping itu, karya sastra adalah sistem tanda tingkat I yang mempunyai makna dan menggunakan medium bahasa. Karya sastra juga diartikan sebagai struktur makna atau struktur yang bermakna. Dalam sebuah karya sastra terdapat konvensi tambahan, yaitu konvensi sastra. Salah satu konvensi tambahan tersebut adalah konvensi bahasa kiasan (symbolic extrapolation). Konvensi tambahan tersebut merupakan konvensi tambahan pada puisi. Artinya dalam puisi terkadang dinyatakan pengertian dan hal-hal yang secara tidak langsung. Ketidaklangsungan itu menurut Riffaterre disebabkan oleh:


1. Penggantian arti (displacing) yaitu sebuah kata yang mempunyai arti yang berbeda sekali dengan yang dimaksud. Misalnya kata kembang untuk maksud sesuatu yang indah (kembang desa)
2. Penyimpangan arti (distorsing) yaitu penyimpangan arti karena ada ambiguitas (makna ganda), kontradiksi atau nonsense (yaitu bentuk-bentuk kata yang secara linguistik tidak mempunyai makna sebab tidak terdapat dalam kosakata). 
Misal: penggabungan dua kosakata atau lebih:
Sepi saupi (salah satu baris puisi Sutardji Coulsom Bachri)
3. Penciptaan arti (creating of meaning)   

Karena sifat puisi tersebut, menganalisis sebuah puisi terasa lebih sulit dibanding dengan menganalisa karya sastar jenis prosa. 

Tulisan berikut akan mencoba membandingkan tiga buah puisi dari tiga orang penulis yang berbeda yang semuanya mengambil tokoh ayah sebagai tema utamanya.



Ayah
(karya Yayuk Prastiwi)

1. Kerut di wajah tanda usia senja
2. Tak mengahalangi langkah tegarmu
3. Mandi keringat membanting tulang
4. Demi kami semua keluargamu

5. Fajar menyinsing kau melangkah
6. Di senja hari baru kau kembali
7. Hanya ada satu tujuan mulia
8. Memberi sinar bahagia bagi kami

9. Aku bermohon kepada Tuhan
10. Berkat keselamatan untuk ayah
11. Memberi rahmat dan kekuatan
12. Melindungi jalan kehidupan


Ayah
(karya Puwaning Retnowati)

1. Di remang malam buta
2. Kulihat engkau tertidur lelap
3. Mungkin engkau telah lelah
4. Mencari nafkah tuk keluarga

5. Ayah, semoga berakhir derita kita
6. Dengan senyum dan tawa ria
7. Yang selama ini kurindukan
8. Senyumlah, Ayah, tertawalah

9. Kehidupan berputar bagai roda
10. Dialami oleh semua manusia
11. Tuhan mengatur segalanya
12. Tapi, kapan derita berakhir segera

Titip Rindu Buat Ayah
(karya Ebiet G. Ade)

1. Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
2. Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
3. Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari
4. Kini kurus dan terbungkuk
5. Namun semangat tak pernah pudar
6. Memikul beban yang smakin sarat
7. Kau tetap bertahan

8. Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
9. Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
10. Kau tampak tua dan lelah
11. Keringat mengucur deras
12. Namun kau tetap tabah
13. Meski nafasmu kadang tersengal
14. Memikul beban yang makin sarat
15. Kau tetap setia

16. Ayah, dalam hening sepi kurindu
17. Untuk menuai padi milik kita
18. Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
19. Anakmu sekarang banyak menanggung beban

Ketiga puisi ini semuanya menggambarkan sikap penyair terhadap seorang ayah. Dalam ketiga puisi tersebut masing-masing penyair menggambarkan tokoh ayah yang meskipun tampak tua tetapi ia ta pernah berkeluh kesah apalagi pasrah menyerah. 
Kerut di wajah tanda usia senja / Tak menghalangi langkah tegarmu
Demikian Yayuk Prastiwi menggambarkan ketegaran semangat seorang ayah. Sementara Purwaning Retnowati berujar:
Di remang malam buta / Kulihat engkau tertidur lelap / Mungkin engkau telah lelah / Mencari nafkah tuk keluarga
Lain lagi dengan Ebiet G. Ade, penyair yang sekaligus komponis, dia bertutur tentang semangat seorang ayah dengan baitnya:
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari / Kini kurus dan terbungkuk / Namun semangat tak pernah pudar / Memikul beban yang smakin sarat / Kau tetap bertahan

Bagaimana semangat kerja sang ayah kembali Yayuk Prastiwi menggambarkan
Fajar menyinsing kau melangkah / Di senja hari baru kau kembali
Dan semua jerih payah seorang ayah hanyalah untuk satu tujuan mulia, yakni demi kebahagiaan keluarganya: 
Hanya ada satu tujuan mulia / Memberi sinar bahagia bagi kami

Akhirnya penyair menyadari hanya satu yang bisa ia lakukan untuk ayahnya yaitu berdoa demi keselamatan dan kebahagiaan hidupnya:
Aku bermohon kepada Tuhan / Berkat keselamatan untuk ayah / Memberi rahmat dan kekuatan / Melindungi jalan kehidupan

Berbeda dengan Yayuk Prastiwi, Purwaning Retnowati lebih melihat segi penderitaan yang di alami sang ayah yang nampaknya telah bersusah payah bekerja tetapi roda kehidupan yang dialaminya tampaknya masih tetap sama, yaitu penderitaan hidup atau kemiskinan. Tetapi penyair berharap penderitaan yang dialami sang ayah dengan keluarganya akan berakhir dengan kebahagiaan dan kesenangan
Ayah, semoga berakhir derita kita / Dengan senyum dan tawa ria / Yang selama ini kurindukan
Karenanya, sang penyair mengharap agar sang ayah tidak bersedih dan tetap tersenyum, maka penyair meminta
Senyumlah, Ayah, tertawalah
Tetapi kemudian pada akhirnya sang penyair ternyata tak bisa memberikan motivasi pada ayahnya agar tetap sabar dalam menjalani pahit getir kehidupan bahkan terhadap dirinya sekalipun, hingga akhirnya sang penyair mendesah dalam suara bernada putus asa:
Tapi, kapan derita berakhir segera
Walaupun sebelumnya sang penyair menyadari bahwa roda kehidupan selalu berputar dan semua kehidupan telah diatur oleh Yang Maha Kuasa
Kehidupan berputar bagai roda / Dialami oleh semua manusia / Tuhan mengatur segalanya
Tetapi sekali lagi nampaknya sang penyair pun juga telah lelah dan bahkan putus asa seraya mendesah : Tapi, kapan derita berakhir segera.

Dalam berusaha mengvisualisasikan tokoh sang ayah dan juga semangat kerjanya ketiga penyair ini lebih banyak menggunakan citraan penglihatan (visual) sehingga seolah-olah kita, pembaca dihadapkan pada sosok ayah yang tergambar jelas di depan kita.

Penyair Yayuk Prastiwi menggunakan kata kerut di wajah, mandi keringat (baris 1 dan 2), sementara Purwaning Retnowati menggunakan kata-kata, malam, remang, buta tertidur, lelah, untuk menunjukkan betapa sang ayah telah bekerja di siang hari (baris 1, 2 dan 3). Lain lagi dengan Ebiet G. Ade hampir dengan sempurna penyair ini menggambarkan sosok sang ayah dan semangatnya dalam kerja. Kata-kata yang dipilihnya: matamu, benturan, hempasan, terpahat, keningmu, bahumu , kekar, legam, terbakar, kurus, terbungkuk. Kata-kata yang saling berlawanan dan disejajarkan ini menunjukkan kesan, betapa kerja keras sang ayah telah menyebabkan kondisi fisiknya berubah. Kata-kata yang dipertentangkan itu antara lain: kekar dengan kurus dan terbungkuk. Dan ketegaran semangat ini selain diinformasikan oleh penyair kepada pembaca dengan kata – kata yang saling bertentangan dipertegas lagi dengan bunyi baris 
Namun semangat tak pernah pudar / Memikul beban yang smakin sarat / Kau tetap bertahan
Juga dipertegas lagi dengan baris-baris
Kau tampak tua dan lelah / Keringat mengucur deras / Namun kau tetap tabah / Meski nafasmu kadang tersengal / Memikul beban yang makin sarat / Kau tetap setia

Selain makna dan keindahan puisi bisa diciptakan dengan diksi atau pilihan kata yang berusaha mengoptimalkan seluruh indera yang dimiliki manusia, style atau gaya bahasa juga digunakan untuk menambah keindahan puisi,sehingga benar-benar unsur estetik sebuah puisi yang merupakan salah satu jenis karya sastra ini benar-benra menonjol dan dapat dirasakan oleh penikmatnya.
Gaya bahasa yang bisa kita temui dalam puisi Ebiet G. Ade dan Yayuk Prastiwi antara lain adalah gaya bahasa hiperbola. Hal itu bisa kita lihat dari baris
Mandi keringat membanting tulang (Yayuk Prastiwi)
Keringat mengucur deras (Ebiet G. Ade) 


1 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP